A.
Model Pembelajaran Discovery
a.
Pengertian Model Pembelajaran Discovery
Penemuan (discovery) merupakan suatu model yang dikembangkan berdasarkan pandangan konstruktivisme.
Dalam pembelajaran discovery kegiatan atau pembelajaran dirancang sedemikian
rupa sehingga siswa dapat menemukan konsep-konsep
dan prinsip-prinsip melalui proses mentalnya sendiri. Dalam menemukan konsep siswa melakukan
penagamatan, menggolongkan, membuat dugaan,
menjelaskan, menarik kesimpulan. Discovery
adalah proses mental dimana siswa mampu mengasimilasikan suatu konsep atau prinsip.
Model pembelajaran discovery adalah teori belajar yang didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang terjadi
apabila materi pembelajaran tidak disajikan
dengan dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan peserta didik itu sendiri yang mengorganisasi sendiri (Kurniasih
& Sani, 2014:64). Sedangkan menurut Budiningsih,
(2005:43) pengertian model pembelajaran discovery
diartikan pula sebagai cara
belajar memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif untuk
akhirnya sampai kepada
suatu kesimpulan. Hosnan (2014:282) mengatakan bahwa model discovery learning suatu model untuk
mengembangkan cara belajar aktif
dengan menemukan sendiri, menyelidiki sendiri maka hasil yang diperoleh akan tahan lama dalam ingatan. Sehingga
dapat disimpulkan model pembelajaran discovery learning adalah model
pembelajaran yang dirancang agar siswa menemukan
dan mengorganisasikan sendiri konsep, teori atau pemahaman melalui
contoh-contoh yang dijumpainya.
b.
Latar Belakang
Munculnya Model Discovery Learning
Belajar discovery (belajar penemuan) merupakan pendekatan Bruner dimana siswa belajar dengan caranya
sendiri untuk menemukan prinsip-prinsip dasar. Di dalam proses
belajar, Bruner mementingkan partisipasi aktif dari setiap siswa dan mengenal dengan baik adanya
perbedaan kemampuan. Untuk menunjang
proses belajar tersebut diperlukan model pembelajaran discovery learning sehingga
siswa dapat melakukan eksplorasi, penemuan-penemuan baru yang belum dikenal
atau pengertian yang sudah diketahui.
Menurut Bruner (dalam Budiningsih,
2005:41) perkembangan kognitif seseorang
terjadi melalui tiga tahap, yaitu : tahap enaktif, tahap ikonik dan tahap simbolik.
1.
Tahap enaktif (2-7 tahun), pertumbuhan intelektual seseorang ditandai
oleh aktivitas atau tindakan. Dalam tahap ini, anak belajar
untuk mengalami dunia
melalui kontak langsung dengan lingkungan sekitarnya. Artinya, dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan
pengetahuan motorik. Misalnya melalui gigitan, sentuhan, pegangan. Pada
tahap ini anak mulai dapat memahami
beberapa aspek realita atau kejadian tanpa menggunakan imajinasinya atau
kata-kata.
2.
Tahap ikonik (7-12 tahun),
seseorang memahami objek-objek atau dunianya
melalui gambar-gambar dan visualisasi herbal dan anak menggunakan semacam ikon atau gambaran mental tentang
objek untuk mendapatkan pengetahuan
dan untuk meningkatkan pemahamannya. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk
perumpamaan dan perbandingan. Pada
tahap ini ketika materi pembelajaran yang bersifat abstrak, dipelajari oleh siswa dengan menggunakan ikon, gambar,
atau diagram yang menggambarkan
kegiatan nyata dengan benda-benda konkret. Dengan
demikian, topik pembelajaran yang bersifat abstrak akan diwujudkan dalam
bentuk benda-benda nyata yang dapat diamati oleh siswa. (Thobroni dan Mustofa,
2012:100)
3.
Tahap simbolik (lebih dari 12
tahun), seseorang telah mampu memiliki ide- ide
atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika.
Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui
simbol-simbol bahasa, logika, matematika
dan sebagainya. Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak sistem
simbol. Semakin matang
seseorang dalam proses
berpikirnya, semakin dominan sistem simbolnya. Meskipun
begitu tidak berarti ia tidak lagi menggunakan
sistem enaktif dan ikonik. Penggunaan media dalam kegiatan pembelajaran merupakan salah satu bukti
masih diperlukannya sistem enaktif dan
ikonik dalam proses belajar.
c.
Langkah-langkah Model Discovery Laerning
Fase-fase penerapan model
pembelajaran penemuan (Discovery Based
Learning atau Discovery Learning) adalah sebagai
berikut:
Fase 1 Stimulation (pemberian stimulus)
Guru memberikan sesuatu rangsangan
kepada siswa yang menimbulkan kebingungannya
dan timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Bentuk rangsangan dapat berupa pertanyaan, gambar, benda, cerita,
fenomena, dan aktivitas belajar
lainnya yang mengarah
pada persiapan menemukan suatu konsep.
Fase
2 Problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah)
Guru mengajak siswa untuk mengidentifikasi masalah yang relevan
dengan bahan disajikan untuk stimulus. Dari masalah tersebut, dirumuskan jawaban
sebagai dugaan sementara
(hipotesis).
Fase 3 Data collection (pengumpulan data)
Siswa mengumpulkan informasi yang
relevan untuk membuktikan kebenaran
hipotesis atau menemukan suatu konsep. Data dapat diperoleh melalui membaca
literatur, mengamati objek,
wawancara dengan nara sumber, melakukan
uji coba sendiri dan sebagainya.
Fase 4 Data processing (pengolahan data)
Siswa
mengolah data yang telah dikumpulkan. Pengolahan data dalam
rangka mengarahkan kepada konsep yang akan dicapai.
Fase 5 Verification (memverifikasi)
Siswa melakukan pemeriksaan kebenaran
hipotesis terkait dengan hasil pengolahan data processing.
Fase 6 Generalization (penarikan kesimpulan/ generalisasi)
Siswa
diajak untuk melakukan
generalisasi konsep yang sudah dibuktikan untuk kondisi umum.
d.
Keunggulan dan Kelemahan Model Discovery Learning
Berikut kelebihan atau keunggulan pengetahuan yang diperoleh dengan belajar discovery atau penemuan
menunjukkan adalah sebagai
berikut:
1.
Pengetahuan itu akan bertahan lebih
lama atau lama dapat diingat, mudah diingat, bila dibandingkan dengan
pengetahuan yang dipelajari dengan cara-cara yang lain.
2.
Sebagian itu belajar penemuan
memiliki hasil belajar
yang mempunyai efek
transfer yang lebih baik dari hasil belajar lainnya. Artinya
konsep-konsep yang ditemukan
menjadi milik kognitif
seseorang lebih mudah diterapkan
pada situasi baru atau pada saat
dibutuhkan.
3.
Disisi lainnya secara menyeluruh
belajar penemuan dapat meningkatkan penalaran
belajar suatu topik, meningkatkan kemampuan untuk berpikir secara bebas dan sistimatis. Khususnya lagi belajar penemuan
mampu melatih keterampilan kognitif pelajar untuk
menemukan dan memecahkan masalah tanpa pertolongan orang lain.
Sedangkan kelemahan dari model pembelajaran Discovery sebagai berikut:
1.
Dari sekian bidang studi yang ada,
tidak semua bidang studi atau sub judul bidang
studi dapat dilakukan dengan teori belajar penemuan.
2.
Tidak semua peserta didik mampu diajak
kerja sama melakukan
proses
berpikir sebagaimana yang diharapkan.
3.
Sulitnya teori ini diterapkan pada budaya masyarakat yang berlainan antara satu daerah dengan daerah
yang lain.
4.
Teori ini relatif sulit karena akan
memakan waktu yang relatif lama, dikarenakan siswa kurang terbiasa
untuk melakukan proses
berpikir individu juga kelompok.
B.
Kompetensi Peserta Didik
Ada banyak literature yang
memberi ulasan tentang keterampilan abad 21. Pada intinya semua ahli akan
menjadikan dasar ciri-ciri abad 21 untuk mengambil dan memutuskan bentuk
keterampilan yang harus dimiliki. Wagner (2010) menyampaikan tentang The Seven
Survival Skills for Careers, College, and Citizenship yang terdiri dari (1)
kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah, (2) kolaborasi dan
kepemimpinan, (3) ketangkasan dan kemampuan beradaptasi, (4) inisiatif dan
berjiwa entrepeneur, (5) mampu berkomunikasi efektif baik secara oral maupun
tertulis, (6) mampu mengakses dan menganalisis informasi, dan (7) memiliki rasa
ingin tahu dan imajinasi. Tujuannya agar peserta didik kita dapat menghadai
kehidupan yang komplek ini, bermanfaat bagi dunia kerja, dan tanggungjawab
sebagai warga negara.
Menurut Binkley, M. at.al
(2010), dari The University Of Melbourne, menyampaikan sepuluh keterampilan
yang identifikasi menjadi empat kelompok sebagai berikut: Cara berpikir
meliputi (1). Kreativitas dan inovasi, 2). Pemikiran kritis, pemecahan masalah,
pengambilan keputusan, 3). Pembelajaran untuk belajar, metakognisi); Cara
kerja: (4). komunikasi, 5). kolaborasi (kerja sama tim)); Alat untuk bekerja
meliputi: (6). Melek informasi, 7). ICT literacy), Hidup di dunia meliputi:
(8). Kewarganegaraan - lokal dan global, 9). Hidup dan karir, 10). Tanggung
jawab pribadi & sosial - termasuk kesadaran dan kompetensi budaya).
US-based Seminar Nasional Edusainstek Partnership for 21st Century Skills
(P21), mengidentifikasi kompetensi yang diperlukan di abad ke-21 yaitu “The
4Cs”- communication, collaboration,
critical thinking, dan creativity.
Dalam tugas
ini, kompetensi yang dipilih adalah collaboration dan critical
thinking. Hal ini sesusai dengan sintaks dari model pembelajaran Discovery
Learning dimana inti dari kegiatan tersebut adalah siswa berkolaborasi dan
berpikirkritis untuk menemukan suatu sesuatu.
C.
Implementasi Model Pembelajaran
Discovery Learning
Sintaks DL
|
Kegiatan pembelajaran
|
Siswa
|
Kompetensi
|
PemberianRangs angan(Stimulasi)
|
Kegiatan awal
1.
Guru mempersiapkan perlengkapan dan media yang digunakan selama
proses pembelajaran, seperti: laptop, proyektor, lembar
kerja siswa, dan alat tulis.
2.
Guru memeriksa memeriksa kesiapan siswa.
3.
Guru membuka pelajaran dengan melakukan doa bersama, dan menngucapkan salam.
4.
Guru melakukan apersepsi tentang materi pelajaran yang akan disampaikan melalui penggunaanmedia PowerPoint.
|
Klasikal
Klasikal Klasikal
Klasikal
|
|
PernyataanMasal ah (Problem steatment)
|
Kagiataninti
1.
Guru membagi siswa
menjadi 7 kelompok.
2.
Guru membagikan lembar kerja
siswauntuk setiap kelompok.
3.
Guru mengajak siswa di lingkungan sekolah untuk mencari sumber
yang tepat.
|
Kelompok
Kelompok Kelompok
|
Kolaborasi
|
Pengumpulan data (Data collection)
|
4. Guru menyuruh siswa
untuk menuliskan hasil
temuan di lapangan.
|
Kelompok
|
Berpikir Kritis
|
Pengolahan data (Data
prossesing)
|
5.
Guru menyuruh siswa untuk menganalisis, dan
mengelompokkan data temuannya sesuai dengan
masalah.
6.
Guru menyuruh siswa memeriksa kembali hasil
yang didapat selama
berada di lingkungan sekolah.
|
Kelompok Kelompok
|
Pembuktian (Verification)
|
7.
Guru menyuruh siswa mencocokkan hasil temuannya dengan hipotesis yang dibuat, mengkonsultasikan hasilnya dengan guru.
8.
Guru mengarahkan setiap siswa membagi temuannya kepada kelompok lainnya untuk saling memberi masukan.
|
Kelompok Kelompok
|
|
PenarikanKesimp ulan
(Generalization)
|
9. Guru menyuruh masing-masing kelompok mempresentasikan hasil
di depan kelas.
|
Kelompok
|
|
PenarikanKesimp ulan
(Generalization)
|
Penutup
10.
Guru dan siswa
menyimpulkan tentang materi yang dipelajari.
11.
Guru mengingatkan siswa untuk
mempelajari materi pelajaran berikutnya.
12.
Guru menutuppelajaran, dan mengucapkansalam
|
Klasikal Klasikal
Klasikal
|
|
DAFTAR RUJUKAN
Budiningsih, Asri. 2005. Belajar
dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Hosnan, M. 2014. Pendekatan
Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad
21. Bogor: Ghalia Indonesia.
Kardi, Soeparman. 2003. Merancang
Pembelajaran Menggunakan Model
Inkuiri.
Surabaya: UNS.
Kurniasih, Imas dan Sani, Berlin.
2014. Sukses Mengimplementasikan Kurikulum
2013. Jakarta: Kata Pena.
Majid, Abdul. 2015. Strategi Pembelajaran. Jakarta: Rosdakarya.
Sumantri,
Mulyana dan Johar Permana. 1999. Strategi
Belajar Mengajar. Jakarta: Depdikbud Dirjen
Dikti.
Thobroni, Muhammad dan Arif Mustofa. 2012. Belajar dan Pembelajaran.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Wina, Sanjaya,
2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.